Minggu, 29 April 2012

Empati: Sebuah Resonansi dari Perasaan

Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan fisik”. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain.

Menurut KBBI, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Sedangkan Eileen R. dan Sylvina S (Kompas, 18 Nop.2006) menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.

Menurut Bullmer, empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu. Bullmer menganggap empati lebih merupakan pemahaman terhadap orang lain ketimbang suatu diagnosis dan evaluasi terhadap orang lain. Empati menekankan kebersamaan dengan orang lain lebih daripada sekadar hubungan yang menempatkan orang lain sebagai obyek manipulatif.

Taylor menyatakan bahwa empati merupakan faktor esensial untuk membangun hubungan yang saling memercayai. Ia memandang empati sebagai usaha menyelam ke dalam perasaan orang lain untuk merasakan dan menangkap makna perasaan itu. Empati memberikan sumbangan guna terciptanya hubungan yang saling memercayai karena empati mengkomunikasikan sikap penerimaan dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat.

Sedangkan Alfred Adler menyebut empati sebagai penerimaan terhadap perasaan orang lain dan meletakkan diri kita pada tempat orang itu. Empathy berarti to feel in, berdiri sebentar pada sepatu orang lain untuk merasakan betapa dalamnya perasaan orang itu.

Senada dengan Adler, Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain. Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan tertentu dan mendengarkan bukan sekadar perkataannya melainkan tentang hidup pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya.

Menurut definisi Thomas F. Mader & Diane C. Mader (Understanding One Another: 1990), empati adalah kemampuan seseorang untuk share-feeling yang dilandasi kepedulian. Kepedulian ini ada tingkatan-tingkatannya

Resonansi Perasaan

Empati sering disebut-sebut sebagai resonansi dari perasaan. Secara fisika berarti ikut bergetarnya suatu benda karena persamaan frekuensi. Dengan empati, seseorang akan membuat frekuensi perasaan dalam dirinya sama dengan frekuensi perasaaan yang dirasakan orang lain. Sehingga ia turut bergetar, turut memahami, sekaligus merasakan apa yang dirasakan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain.

Empati ini sangat kita butuhkan. Empati ini akan membuat kita terbiasa melihat sesuatu dari sisi yang lain. Empati akan membuat kita bisa cepat memisahkan orang dan masalahnya; empati akan mendorong kita untuk lebih melihat bagaimana menyelesaikan masalah ketimbang bagaimana menyerang orang.

Belajar Berempati dari Tokoh Terdahulu

Seorang pemimpin sangat dituntut profesionalitasnya dalam menjalankan tugasnya, sebagai contoh pemimpin kharismatik India Mahatma Gandhi yang menjadi inspirasi gerakan kemerdekaan di Asia pada era 40-50 an, misalnya, yang memilih berpakaian hanya selembar kain gandum karena seperti itulah rakyat kebanyakan.

Atau juga tengok Bapak Koperasi kita Bung Hatta yang menjadi sangat dikenang selain karena intelektualitasnya juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Semua bentuk empati dan simpatinya itulah yang membuat mereka menjadi jauh lebih paham seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang mereka-mereka yang memilih gaya borjuis saat menjadi elit politik.

Saat ini bangsa kita sedang membutuhkan orang-orang yang memiliki “sense of empati” yang tinggi, yang memiliki kepekaan empati. Empati itu tidak hanya dibutuhkan ketika bangsa kita sedang terpuruk dengan berbagai bencana yang melanda. Sebagai contohnya, ketika bangsa kita sedang tertimpa musibah tsunami aceh. Rakyat Indonesia berbondong-bondong menyumbangkan apa yang dimiliki, baik sumbangan berbentuk materi, tenaga, maupun dengan doa. Rakyat Indonesia saat itu memang tampak benar-benar bersatu, bersatu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara di Aceh, kehilangan sanak keluarga yang tercinta, kehilangan harta bernda, kehilangan bagian-bagian tubuh, merasakan kehilangan hal-hal berharga yang dimiliki, dan semua itu telah membuat kita bersatu.

Pertanyaannya apakah kita harus ditegur dulu dengan musibah semacam itu disertai ribuaan nyawa yang hilang terlebih dahulu untuk mengaktifkan sensor empati kita? Jika kita ingin mengikuti jejak tokoh terdahulu yang menunjukka empatinya atas penderitaan rakyat yang dipimpinnya, rasanya Indonesia akan segera bangkit dari keterpurukan ini. Ya… keterpurukan yang bukan disebabkan oleh mati surinya industri atau perekonomian. Tapi lebih kepada matinya hati karena enggan berbagi dan merasakan pahit getirnya kehidupan saudaranya yang lain.

Kini, empati menjadi suatu yang harus hidup dalam sanubari karena dengan berempati, menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang masih hidup, manusia yang berperasaan, dan akhirnya menuntun kita menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.

“Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup

Yang terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup”



(Norman Cousins)

Sabtu, 28 April 2012

Smile

hehehe,,,, gkk kerasa gw jatuh...... tpii pas ketemu ma dy,, ooppss,, blm ketemu sii.. "cuma di DM doank" hehehe.. kecil2 cabe rawit emank.... bisa semangat gara2 dia.... hehehehehe..... now,, try to "BANGKIT"


makasi ya de... luv u ({})

Selasa, 24 April 2012

TERJATUH DAN TAK BISA BANGKIT LAGI

Kita semua pernah terjatuh sesekali, bukan hanya secara fisik tapi juga secara emosional. Dan membangkitkan diri kita kembali, lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Kita tidak membutuhkan bakat khusus untuk menyerah atau berbaring di tengah jalan kehidupan dan berkata, "Aku berhenti!" Faktanya, jalan menuju keputusasaan dan kekecewaan yang kronis berawal dari sebuah hari yang normal yang berakhir dengan timbunan kekecewaan-kekecewaan kecil. Kekecewaan memunyai definisi "gagal untuk memenuhi atau memuaskan harapan dan keinginan", dengan kata lain, ketika kita menentukan diri kita untuk berharap akan sesuatu dan harapan itu tidak terpenuhi, kita menjadi kecewa. Kita merasa tertipu atau dikhianati.

Marilah kita hadapi kenyataan, tidak ada seorang pun dari antara kita yang akan pernah sampai ke tempat di mana kita tidak pernah lagi mengalami kekecewaan. Kita tidak bisa berharap untuk terlindung atau kebal dari setiap hal kecil. Kekecewaan adalah salah satu fakta dari kehidupan yang harus dihadapi oleh semua orang. Sering kali banyak orang membiarkan kekecewaan mereka terus menumpuk dan akhirnya menjadi terpuruk tanpa mengerti apa penyebabnya. Mereka kelihatannya tampak baik-baik saja, tapi sekarang mereka jatuh terbaring di jalan kehidupan tanpa tahu bagaimana terjadinya dan apa sebabnya. Banyak orang tidak menyadari bahwa masalah besar yang menghancurkan mereka ini dimulai sudah lama sebelumnya dengan beberapa kekecewaan kecil yang gagal mereka selesaikan.

Rasa sakit yang mendalam tidak datang begitu saja dari kekecewaan yang besar, seperti ketika kita gagal mendapatkan pekerjaan atau promosi yang kita inginkan. Rasa sakit emosional yang dalam bisa datang dari beberapa gangguan dan frustasi kecil. Itulah mengapa kita perlu tahu bagaimana caranya mengatasi kekecewaan kecil sehari-hari dan memunyai perspektif yang benar terhadap semua itu. Jika tidak, mereka dapat menjadi tidak terkendali dan meledak melebihi batasan.

Contohnya, bayangkan Anda memulai hari Anda dengan rencana dan jadwal di kepala Anda, dan Anda sudah cukup frustrasi dengan itu. Dalam perjalanan Anda ke kantor, jalanan yang macet membuat Anda terlambat. Lalu, ketika Anda akhirnya mulai bekerja, Anda mendengar seseorang di kantor menyebarkan gosip tentang Anda. Anda membuat kopi untuk menenangkan diri Anda, tapi kopinya tak sengaja tertumpah di baju Anda, yang hanya membuat masalahnya semakin rumit karena Anda akan menghadiri pertemuan (meeting) dengan atasan dan Anda tidak punya waktu untuk berganti pakaian!

Menghadapi hal-hal itu satu persatu secara terpisah memang terasa mengganggu, tapi ketika mereka semakin menumpuk, itu akan menjadi tak tertahankan. Lalu, dalam waktu yang hampir bersamaan, Anda mendapat laporan dari dokter tentang sesuatu hal yang tidak Anda harapkan. Dan di puncaknya, tunangan Anda menelpon, mengancam untuk membatalkan pernikahan Anda dengannya walaupun semua undangan telah dikirim! Bagaimana Anda akan menanggapinya? Apakah Anda akan tetap beriman, atau menemukan diri Anda penuh ketakutan dan sedang mengarah menuju kekecewaan dan keputusasaan? Semua kekecewaan dan frustasi kecil terhadap kemacetan, gosip di kantor, dan kopi yang tertumpah telah menjadi sebuah bencana. Dan ketika Anda menghadapi beberapa masalah serius seperti penyakit atau hubungan yang gagal, Anda menemukan diri Anda tidak siap untuk menghadapi semua itu. Jadi Anda terjatuh, menuju ketiadaan pengharapan dan keputusasaan.

Apa yang Anda lakukan saat kekecewaan datang? Saat kekecewaan memberatkan Anda seperti sebuah batu besar, Anda bisa membiarkannya menekan Anda sampai Anda merasa patah semangat, bahkan menjadi benar-benar menyerah, atau Anda bisa menggunakannya sebagai batu loncatan kepada hal-hal yang lebih baik. Belajarlah untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri. Anda bisa melakukannya! Hadapi kekecewaan dan cepatlah membuat penyesuaian yang dibutuhkan untuk menangani situasi itu. Tuhan memunyai hal-hal yang lebih baik untuk Anda, dan Dia akan menolong Anda. Dia mengatakan dalam Ibrani 13:5, "...Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."

Daripada berkonsentrasi pada semua masalah Anda dan menjadi putus asa, arahkan fokus Anda kepada Tuhan dan renungkan janji-janji-Nya kepada Anda. Anda mungkin telah terjatuh, tapi Anda tidak harus tetap tergeletak. Tuhan selalu siap, mau, dan mampu untuk mengangkat Anda kembali. Bangkitlah, walaupun itu berarti Anda membutuhkan waktu dan proses.